Trending Twitter Bupati Langkat Terbit Rencana Parangin Angin , Ini Kasus dan Peneel imuan Kontroversinya

  • Bagikan

Bupati Langkat Terbit Rencana Parangin Angin Trending Twitter, Ini Kasus dan Penemuan Kontroversinya

Rakyatsultra , — Nama Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin Angin, kini menjadi perbincangan warganet hingga menduduki trendig topik di Twitter Indonesia.

Sosok Terbit Rencana Perangin Angin terus menjadi pembahasan warganet sejak ditemukan kerangkeng manusia di rumahnya.

Penemuan kerangkeng manusia ini membuat publik bertanya-tanya hingga menimbulkan kontroversi.Untuk itu, berikut Serambinews.com rangkum penemuan kontroversi Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin yang sedang menjadi perbincangan warganet hingga menduduki trending topik Twitter dengan total 48,7 ribu cuitan pada pukul 14.49 WIB, Selasa (25/1/2022).

Sejak OTT KPK, Kerangkeng di Rumah Terbongkar

Sebelumnya, Bupati Langkat Terbit Rencana kembali disorot pasca terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK).

Bupati Langkat kena OTT KPK pada Selasa, (18/01/2022). Pihak KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang senilai Rp 786 juta.

Bupati Langkat resmi jadi tersangka kasus suap bersama lima orang lainnya.

Setelah terjaring OTT oleh KPK, Pihak Kepolisian mengonfirmasi di rumahBupati Langkat T Perangin Angin terdapat kerangkeng berisi beberapa orang.

Dilansir dari Kompas.com, kerangkeng manusia di rumah Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin, di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sudah ada sejak 2012.

“Ternyata kerangkeng itu sudah ada sejak 2012. Informasi awal dijadikan tempat rehabilitasi untuk orang atau masyarakat yang kecanduan narkoba atau ada yang dititipkan orangtuanya terkait kenakalan remaja,” kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi, Senin (24/1/2022) sore.

Kerangkeng itu diketahui ketika OTT KPK beberapa waktu lalu.

Berikut ini kumpulan fakta terkait penemuan Kerangkeng di rumah Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin.

Ukuran 6×6 meter

Hadi menjelaskan, ada dua kerangkeng manusia di rumah Bupati nonaktif Langkat yang berukuran 6×6 meter.

Kedua sel itu diisi 27 orang yang setiap hari bekerja di kebun sawit.

Saat pulang bekerja, mereka akan dimasukkan ke dalam kerangkeng lagi.

“(Saat ini) mereka masih ada di situ (kerangkeng),” katanya.

Menurut polisi, 27 orang tersebut diantarkan sendiri oleh orang tua masing-masing.Bahkan, para orangtua dan menandatangani surat pernyataan.

“Mereka datang ke situ diantarkan oleh orangtuanya dengan menandatangani surat pernyataan. Isinya antara lain, direhabilitasi, dibina dan dididik selama 1,5 tahun. Mereka umumnya adalah warga sekitar lokasi,” kata Hadi.

Belum ada izin

Dijelaskan Hadi, pada 2017, BNNK Lankat sudah sempat berkoordinasi dengan Terbit Rencana Perangin-Angin, jika memang dijadikan tempat rehabilitasi harus ada perizinannya.

“Namun, sampai detik ini belum ada (perizinannya) dan saat ini sedang didalami oleh tim gabungan,” katanya.

Dikatakannya, hal-hal yang berkembang saat ini masih digali informasinya di lapangan.

“Selnya ada. Ruang tahanan itu ada, betul dan ini yang sedang didalami tim. Tim sudah meminta keterangan dua penjaga di tempat itu,” ungkap Hadi.

Diduga disiksa dan tak digaji

Dugaan tindak perbudakan manusia itu pertama kali diungkap oleh Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care).

Menurut Migrant Care, pihaknya menerima laporan adanya kerangkeng manusia serupa penjara, yakni berupa besi yang digembok, di dalam rumah Terbit.

Diduga, kerangkeng itu digunakan sebagai penjara bagi para pekerja sawit yang bekerja di ladang bupati tersebut.

“Kerangkeng penjara itu digunakan untuk menampung pekerja mereka setelah mereka bekerja. Dijadikan kerangkeng untuk para pekerja sawit di ladangnya,” kata Ketua Migrant Care Anis Hidayah, Senin (24/1/2022).

Anis mengungkapkan, ada dua sel dalam rumah Terbit yang digunakan untuk memenjarakan sekitar 40 orang pekerja.

Jumlah pekerja itu kemungkinan besar lebih banyak daripada yang saat ini telah dilaporkan.

Mereka disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya.

Selepas bekerja, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng, sehingga tak memiliki akses keluar.

Para pekerja bahkan diduga hanya diberi makan dua kali sehari secara tidak layak, mengalami penyiksaan, dan tak diberi gaji.

“Mereka tentu tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar. Mereka mengalami penyiksaan, dipukul, lebam, dan luka,” ujar Anis.

“Selama bekerja, mereka tidak pernah menerima gaji,” ungkapnya.

Migrant Care menilai bahwa situasi ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip pekerjaan layak yang berbasis HAM, dan prinsip antipenyiksaan. (Serambinews.com/Firdha Ustin)

  • Bagikan