Menelisik Dibalik Riuh “Emak-Emak” di PT WIN Desa Torobulu

  • Bagikan

Laporan: Ramaluddin, Konawe Selatan

Rakyatsultrafajar.co.id — Cerita investasi tentu berperan penting dalam upaya kemajuan dan pemulihan ekonomi di setiap daerah. Dengan banyaknya bisnis yang bermunculan akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.

Dengan lapangan pekerjaan yang tercipta secara jelas akan mendukung pertumbuhan daya beli masyarakat serta konsumsi rumah tangga.

Tak terlepas dengan adanya investasi pertambangan yang saat ini marak di Sulawesi Tenggara seperti halnya di Kabupaten Konawe Selatan.

Di Konawe Selatan, beberapa wilayah menjadi sentra-sentra industri masuknya investor untuk berinvestasi.

Seperti halnya di Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe Selatan. Investor pertambangan dan perkebunan tak luput kehadirannya.

Sebut saja PT Wijaya Inti Nusantara (WIN). Sebuah perusahaan pertambangan yang beroperasi di tujuh desa mencakup dua kecamatan. Kecamatan Laeya dan Palangga Selatan. Meliputi tujuh desa. Desa Torobulu, Mondoe, Parasi, Wonuakongga, Labokoe, SP I, dan Puuwulo.

Hadirnya perusahaan pertambangan tak terlepas dari pro dan kontra masyarakat. Ada yang merasa hadirnya tambang adalah angin segar. Ada uang debu, ada dana comunity development (Comdev), ada Coporate Social Responsibility (CSR), bisa menyerap tenaga kerja, ekonomi meningkat, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bisa berputar, ada bantuan fasilitas rumah ibadah, pendidikan, sampai bisa dapat sembako menjelang hari raya.

Tetapi terkadang, hadirnya pertambangan bisa juga mendapat penolakan. Utamanya munculnya rasa kepanikan atau kegalauan merusak ekosistem.

Seperti yang baru saja terjadi awal pekan kemarin. Sebuah video beredar luas yang memperlihatkan aksi emak-emak menghadang sejumlah alat berat milik PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) yang tengah melakukan aktivitas penambangan nikel di Desa Torobulu Kecamatan Laeya Konawe Selatan.

Emak-emak terlihat mendatangi lokasi yang rencananya akan dilakukan penambangan oleh PT WIN. Alasannya, penambangan dekat dengan pemukiman warga.

Firman, Warga Dusun I Desa Torobulu mengatakan adanya aksi pemberhentian alat berat yang disebutnya berlokasi di simpang tiga memiliki cerita yang panjang.

Firman berkisah sebelum bersama emak-emak memblokade aktivitas PT WIN dirinya terlebih dulu menghubungi kepala desa (kades).

“Hanya maksud kami belum ada tanggapan. Karena sesungguhnya kami ini masyarakat tergantung pemerintah,” kata Firman.

Entah tak mendapat respon dari pemerintah desa, Firman bersama emak-emak berinisiatif memasang pamflet pelarangan aktivitas penambangan di sekitar area yang disebutnya simpang tiga Torobulu.

“Kami pasang pamflet karena tidak ada tanggapan untuk rencana penghentian kami. Sementara kami dapat informasi dari pihak perusahaan Senin (25/9/2023) rencananya sudah mau di kerja,” cerita Firman.

“Saya ketemu manager PT WIN memang mau menambang. Tapi kami warga tidak tahu,” sambungnya.

Mendengar itu, Firman bersama beberapa warga Dusun I meminta untuk melakukan pertemuan di Balai Desa.

“Sampai datang pak camat. Jadi kami hentikan dulu sebelum ada pertemuan. Pak camat mengatakan jangan ada kegiatan jadi kami kejar-mengejar dengan pihak yang mau kerja di lolasi. Sampai pertemuan selanjutnya tidak ada kesepakatan,” cerita Firman kepada awak media.

Kata Firman, warga Dusun I beralasan jangan ada penambangan disimpang tiga karena ada dampak. Seperti dekat pemukiman, ada sawah dan empang. “Sampai hari ini (Jumat, 29/9/2023) belum ada kesepakatan dan pertemuan,” katanya.

Berbeda dengan Firman, Ibu Risma yang bermukim persis bersampingan dengan lokasi yang bakal di tambang di area Dusun I Simpang Tiga mengaku tidak komplain.

“Kalau saya nda komplen. Karena kalau menambangmi rumahku mau diganti. Ini tanahku mau diolah (tambang) juga nanti,” katanya singkat.

Mencoba menelisik lebih jauh, Warga Dusun II Desa Torobulu yang kesehariannya berjualan es buah dan makanan siap saji, yang enggan disebutkan namanya mengaku hadirnya PT WIN justeru menambah pendapatan hari-hari bagi pelaku UMKM.

“Yah Alhamdulillah ini tambang di depan (maksudnya depan kedainya) jualan lancar. Kita juga di kasih komdep (komdep dia menyebut yang berarti Comdev, red) dari tambang,” akunya.

Sementara itu Humas PT WIN, Kasmaruddin saat dihubungi mengatakan emak-emak yang melakukan penahanan alat berat di Dusun I adalah warga yang bermukim jauh dari lokasi kegiatan.

“Yang tahan itu jauh jaraknya dari rumahnya. Justeru warga di sekitar berdekatan langsung itu tidak komplain,” kata Kasmaruddin.

Disamping itu, tambah dia, lahan yang bakal ditambang bukanlah lahan warga yang memprotes.

“Yang memprotes bukan pemilik lahan. Itu lahan saya,” tambahnya.

Menyikapi polemik yang terjadi di desanya, Kepala Desa Torobulu, Nilham angkat bicara, Jumat (29/9/2023).

Nilham menilai gerakan yang dilakukan warganya adalah kerisauan. “Artinya mereka ketakutan, kepanikan warga dengan adanya mobilisasi alat perusahaan. Tapi informasinya kurang jelas juga sehingga kami pemerintah desa sampai saat ini belum menemukan titik temunya,” ujar Nilham.

Kata dia, dari kepanikan itu warga melakukan sebuah gerakan yang berujung penolakan melakukan penambangan mendekati areal perkampungan.

“Bukan menolak PT WIN nya. Menolak aktivitas di simpang tiga. Kalau di tempat lain silahkan tidak ada masalah,” tuturnya.

Beberapa aktivitas PT WIN beberapa waktu lalu mendekati areal pemukiman warga. Nilham mengatakan pemukiman warga memang sudah masuk IUP.

“Dan kemarin mereka menyampaikan juga ke saya menolak. Tapi setelah mereka dan perusahaan ada komunikasi, mereka juga ada kecocokan dengan harga tanahnya. Sehingga mereka deal (sepakat) lah begitu untuk ditambang,” sebutnya.

Kejadian yang sempat viral sebelumnya, kata Nilham, ditahan sebab area itu belum pernah diolah dipinggiran rumah warga.

“Jadi sebelum diolah mereka bergerak duluan. Akhirnya menimbulkan keresahan dan terkonsolidasi akhirnya mereka menolak menambang. Padahal warga ada sebagian juga menyampaikan ke saya mengagetkan mereka. Baiknya perusahaan melakukan sosialisasi dulu tentang lahan baru yang akan diolah,” ujar Nilham.

Sosialisasi dimaksud Nilham terkait batasnya sampai dimana, dampak lingkungan, debu, kompensasi seperti apa itu yang ditunggu dari masyarakat.

“Tapi karena sudah terlanjur duluan alat yang turun bekerja sehingga masyarakat bergerak tanpa ada komunikasi kesepakatan. Ini warga yang sebagian yang menolak ini bukan warga yang tempatnya sudah diolah,” paparnya.

“Yang menolak ini dekat-dekat pemukiman dan wilayah yang jauh. Yang jauh ini kepanikan saja,” sambung Nilham.

Nilham mengakui jika lahan yang hendak diolah dan mendapat penolakan warga tak lain lahan milik Humas PT WIN, Kasmaruddin.

“Yang diolah untuk sementara lahannya Pak Kasman,” sebut Nilham.

Lanjutnya, atas kejadian penolakan warga itu, sebelumnya pemerintah desa telah melakukan fasilitasi. Dengan menyampaikan ke pihak kecamatan dan Polsek Lainea mengantisipasi hal-hal yang terjadi dilapangan.

“Saya sudah mempertemukan tapi masih menolak. Belum ada solusilah. Kalau saya pemerintah desa ini melihatnya ini perlu didudukan karena terkait investasi dan masyarakat,” katanya.

Menurut Nilham, perusahaan bergerak karena ada IUP, namun disisi lain masyarakat juga menginginkan kenyamanan.

Sehingga, kata Nilham, perlu pemikiran bukan saja pemerintah desa. Tetapi seluruh stakeholder.

Baginya, pemerintah desa berada ditengah-tengah menjaga warga dan perusahaan. Karena didalam perusahaan ada warga juga yang bekerja.

“Selaku pemerintah setempat kontribusi PT WIN, sebagai pemerintah desa adanya investasi ini tentu ada positifnya cukup besar. Perputaran ekonomi masyarakat semakin baik. Pengaruh ekonomi dengan PT WIN keberadaannya cukup baik. Penyerapan tenaga kerja, bahkan ada yang membeli motor dan mobil,” jelasnya.

Namun lanjutnya, perusahaan bisa mengantisipasi seperti menjaga dampak dan mampu menjelaskan ke warga bahwa ada strategi yang dicanangkan agar bisa meyakinkan warga.

“Seperti adanya tambak dan persawahan, itu yang perlu dijelaskan agar tidak menimbulkan kerisauan akan mata pencaharian warga selain tambang,” ulasnya.

Bagi Nilham, persoalan di tambang di Desa Torobulu tidaklah rumit.

“Ini tidak rumit, perusahaan bisa menahan diri jangan memancing warga. Mampu membangun komunikasi dengan seluruh stakeholder baik tokoh masyarakat, pemerintah desa, TNI/Polri agar meyakinkan masyarakat akan keresahannya dan kepanikannya agar bisa terjawab,” jelas Nilham.(RS)

  • Bagikan