KENDARI – Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), melaksanakan sosialisasi Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Tahun 2025, yang digelar di salah satu hotel di Kota Kendari, Selasa (29/7). Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perlindungan anak, melawan norma yang membenarkan kekerasan, serta memperkuat sistem pengasuhan aman di lingkungan keluarga dan komunitas.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Kendari, Amir Hasan, membuka acara dengan penekanan pada pencegahan kekerasan anak yang dimulai dari unit terkecil yakni keluarga, RT, dan RW. Menurutnya, penyelesaian masalah kekerasan anak sebaiknya diupayakan di tingkat komunitas sebelum dibawa ke ranah hukum.
“Orang tua dan lingkungan sekitar lebih memahami kondisi psikologis anak secara langsung,” ujar Amir.
Dalam kesempatan tersebut, Amir Hasan juga menyuarakan keprihatinan mendalam atas tingginya angka perceraian di Kota Kendari, termasuk di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Dirinya mengungkapkan bahwa kasus perceraian tahun 2025 ini tergolong sangat tinggi, bahkan melibatkan beragam profesi seperti guru, advokat kelurahan, hingga tenaga medis.
Menanggapi fenomena ini, Amir Hasan meminta pihak DP3A Kota Kendari untuk menjalin kerja sama dengan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Kendari. Tujuannya, agar setiap proses perceraian ASN wajib melalui pendampingan psikolog di BP3A sebelum diproses lebih lanjut.
Tak hanya itu, Dirinya juga telah menginstruksikan Kepala BKPSDM untuk menerapkan aturan ketat dalam pemberian izin cerai bagi ASN. Salah satunya adalah dengan mempertemukan kedua belah pihak untuk mediasi dan kesepakatan tertulis. Langkah mediasi ini dinilai krusial untuk mencegah dampak buruk perceraian terhadap anak.
“Bukan hanya anak yang menjadi korban kekerasan, tapi juga korban perceraian yang pada akhirnya menjadi tanggung jawab pemerintah,” tegas Amir Hasan.
Selain persoalan perceraian, Dirinya juga menyoroti faktor sosial yang turut memicu kekerasan terhadap anak. Pola pengasuhan yang masih menggunakan kekerasan, kemiskinan, eksploitasi, diskriminasi, dan pelanggaran hak anak menjadi sederet masalah yang perlu ditangani.
“Contoh nyata banyak anak-anak yang dieksploitasi untuk mengemis di perempatan lampu merah. Fenomena ini seringkali dimobilisasi oleh pihak tidak bertanggung jawab demi keuntungan pribadi,” jelasnya.
Hal ini menunjukkan kompleksitas permasalahan perlindungan anak yang masih membutuhkan perhatian serius dan tindakan konkret dari berbagai pihak. RS