UNAAHA — Potret buram penegakan hukum kembali mencuat di Kabupaten Konawe. Empat warga yakni, Asmawati, Aludin, Mahmuddin, dan Haryanti terancam kehilangan tanah yang mereka kuasai puluhan tahun, setelah Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas sengketa lahan melawan Basri, warga Konawe Selatan yang kini diduga mengklaim lahan di lokasi berbeda.
Penolakan ini menjadi babak pahit terakhir setelah rangkaian putusan hukum yang berubah-ubah dan dianggap sarat kejanggalan.
Ironisnya, dalam putusan tingkat pertama, Pengadilan Negeri Unaaha menyatakan gugatan Basri tidak dapat diterima (NO) karena objek gugatan tidak sesuai dengan fakta lapangan. Namun putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Kendari, yang justru menyatakan Basri sebagai pemilik sah berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 00040 Tahun 1996 meski keberadaan dan batas-batas lahan itu masih dipertanyakan.
“Gugatan Basri menyebut tanahnya di Desa Parauna, padahal desa itu tidak pernah ada pemekaran ke Kelurahan Tobeu. Yang benar, Kelurahan Tobeu mekar dari Kelurahan Tuoy. Fakta administratif ini bisa dibuktikan,” tegas Asmawati, salah satu tergugat, Selasa (8/7).
Merasa tidak mendapat keadilan di tingkat banding dan kasasi, para tergugat mengajukan PK ke MA dengan membawa 29 bukti baru (novum) yang membantah klaim lokasi dari penggugat. Namun, alih-alih mengkaji subtansi bukti, majelis hakim MA menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa bukti-bukti itu hanyalah hasil salinan (copy-an), tanpa mempertimbangkan keabsahan isinya.
“Kami scan dari dokumen asli, bukan copy sembarangan. Tapi semua itu diabaikan. Kami benar-benar kecewa. Di mana keadilan untuk rakyat kecil seperti kami,” ujar Asmawati.
Yang lebih mengejutkan, Asmawati mengaku sempat mendapat tekanan berupa permintaan sejumlah uang dari pihak yang tidak ingin disebutkan.
“Saya dihubungi untuk dimintai uang agar prosesnya bisa ‘dibantu’. Tapi kami ini rakyat kecil, jangankan bayar, makan saja susah. Apa seperti ini wajah hukum di negeri ini,” katanya lirih.
Kini, eksekusi tinggal menghitung hari. Empat warga itu hanya bisa berharap pada satu lembaga yang belum bersuara: Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Kami minta BPN turun tangan. Cek ulang koordinat tanah. Pastikan objek yang dieksekusi sesuai dengan yang disengketakan. Jangan sampai kami digusur dari tanah yang bahkan bukan sengketa mereka,” harapnya. RS