Richard Eliezer & Dhania Choirunnisa dalam Skenario Ferdy Sambo

  • Bagikan

JAKARTA – Dahlan Iskan turut menelisik vonis ringan atas Richard Eliezer alias Bharada E.

Dalam tulisan tersebut, Dahlan Iskan menulis pendapat sahabat Disway terkait putusan tersebut.

Richard hanya dijatuhi hukuman 18 bulan penjara, padahal dia yang menembak Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Dahlan menduga mungkin saja hakim punya keyakinan yang tidak diucapkan; belum tentu tembakan Eliezer itu yang menewaskan Yosua.

“Bisa saja Yosua baru tewas oleh tembakan setelah itu: yang dilakukan Ferdy Sambo,” tulisan Dahlan, Disway edisi Kamis (16/2).

Menurut Dahlan, yang jelas hakim menilai Eliezer adalah justice collaborator (JC).

Berkat keterangan Eliezer-lah terungkap bahwa dia hanya disuruh atasannya, Ferdy Sambo, bahkan Sambo sendiri lantas juga menembakkan pistol ke kepala Yosua.

Walakin, sahabat Disway ahli hukum di Universitas Brawijaya dan Universitas Muhammadiyah Malang, Rohman Budijanto (Roy) punya pendapat lain.

“Namun, itu berlebihan. Terutama bila dikaitkan dengan hukuman pada Bripka Ricky Rizal yang 13 tahun,” tulisan Disway mengutip pendapat Roy.

“Padahal, justru Rizal yang berani menolak perintah Sambo untuk menembak Yosua,” lanjut Dahlan menirukan perkataan doktor hukum dari Unair Surabaya itu.

Dalam tulisan itu, Dahlan menulis pendapat Roy bahwa ketika Ricky Rizal dihukum 13 tahun penjara, seharusnya Eliezer dihukum 15 tahun.

“Itu sudah ringan. Seharusnya, kan, seumur hidup,” demikian Dahlan mengutip pendapat Roy.

Dahlan menulis bahwa Roy mengakui jasa Eliezer sebagai JC sangat besar. Akan tetapi, itu bukan yang paling menentukan.

Tidak pula satu-satunya. Konon Roy justru mengunggulkan jasa istri seorang polisi yang sangat besar: Dhania Choirunnisa.

Dia istri Baiquni Wibowo yang sudah dipecat dari keanggotaan polisi. Pangkat Baiquni sudah cukup tinggi: komisaris polisi. Setara dengan mayor di TNI.

Jabatannya juga moncer saat kasus pembunuhan Yosua terjadi: Kasub bagian pemeriksaan dan penegakan etika di Divisi Propam Polri.

Namun, Baiquni dipecat karena dianggap perusak barang bukti. Yakni merusak laptop yang berisi rekaman CCTV di pos penjagaan rumah Sambo: di Duren Tiga Jakarta.

Perusakan itu pun konon juga atas perintah Sambo.

Polisi yang sengaja merusak barang bukti adalah kesalahan yang berat.

Akan tetapi, Baiquni juga dinilai berjasa: diam-diam dia telah meng-copy rekaman itu.

Copy tersebut dia simpan di rumahnya. Konon ketika penyidik datang untuk menyita barang bukti, mereka tidak tahu ada copy itu.

Lalu setelah menyita laptop yang rusak, mereka mau meninggalkan rumah Baiquni.

“Mereka seperti putus asa: hanya mendapat barang bukti yang sudah dirusak,” tulisan Dahlan Iakan.

Ketika mereka akan pamit dari rumah Baiquni itulah, Dhania datang.

“Yang ini tidak dibawa sekalian?” begitulah Dahlan mengutip perkataan Dhania kepada penyidik. Sambil berkata begitu Dhania mengambil copy rekaman tersebut.

“Penyidik pun mendapatkan barang bukti yang sangat berharga. Khususnya dalam mengaitkan pembunuhan itu dengan dalang Sambo,” tulisan Dahlan.

Menurut Dahlan, sebelum itu ada upaya Sambo untuk cuci tangan. Mantan kadiv Propam Polri itu membuat skenario bahwa dia tidak di rumah saat ”tembak-menembak” terjadi.

Namun, dengan adanya salinan rekaman CCTV itu, skenario Sambo pun ambyar.

“Akan tetapi, dengan copy rekaman itu, Sambo ternyata cuci tangan dengan darahnya sendiri,” tulisan Dahlan.

Nah, Roy pun berpendapat bahwa salinan rekaman CCTV itu sebuah penentu keterlibatan Sambo di balik pembunuhan Brigadir J.

“Menurut pendapat saya, lebih penting rekaman yang diberikan Dhania itu dibanding pengakuan Eliezer,” begitu Dahlan mengutip pendapat Roy.

Tulisan lengkap Dahlan Iskan ini bisa dibaca pada kolom Disway, JPNN.com, atau melalui tautan ini; Dhania Eliezer. (jpnn/RS)

  • Bagikan