JAKARTA – DPN Peradi bersama Malaysian Bar menggelar seminar internasional bertajuk “Cross-Border Debt Restructuring and Insolvency: Indonesia and Malaysia’s Perspective.
Seminar yang digelar secara hybrid itu merupakan rangkaian dari kegiatan kunjungan jajaran teras Malaysian Bar (MB) di DPN Peradi serta ke beberapa lembaga penegak hukum lainnya di Indonesia.
Ketum DPN Peradi Otto Hasibuan mengatakan seminar ini sangat penting bagi advokat pihaknya dan MB untuk mengetahui dan memahami hukum di kedua negara.
“Seminar ini menjadi platform bagi kedua asosiasi pengacara untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dalam restrukturisasi atau kepailitan lintas batas,” ujarnya dalam siaran persnya, Kamis (2/2).
President of MB, Karen Cheah Yee Lynn menyampaikan seminar internasional ini merupakan hasil koloborasi antara Peradi dengan MB.
Restrukturisasi dan kepailitan lintas batas ini kian menarik, imbas dari perkembangan ekonomi dan globalisasi, termasuk dampak Covid-19 di berbagi negara, khususnya di regional Asia Tenggara dan umumnya di dunia.
Latar belakang seminar internasional ini berakat dari pentingnya advokat menguasai berbagai hukum atau aturan di negara-negara lain. Ini kian penting ketika Covid-19 menghantam dunia dan mengganggu perekonomian, temasuk perdagangan antarnegara.
Dalam kasus tertentu, tindakan drastis ini tidak cukup dan perusahaan terkait perlu merestrukturisasi kewajiban mereka kepada kreditornya.
Pada kasus-kasus ekstrem tertentu, kreditor dari perusahaan-perusahaan tersebut dapat mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan tersebut, termasuk mengajukan kepailitan atau restrukturisasi di pengadilan hukum yang relevan.
Karena banyak perusahaan Malaysia memiliki kepentingan di Indonesia dan perusahaan Indonesia juga memiliki kepentingan bisnis di Malaysia, ada kemungkinan bahwa perusahaan ini dapat terlibat dalam kepailitan atau restrukturisasi di Malaysia atau Indonesia.
Salah satu pemateri, Johannes C. Sahetapy-Engel mengatakan restrukturisasi dan kepailitan lintas batas bukanlah hal mudah, mengingat setiap negara dan lembaga pengadilannya memiliki rezim hukum dan peraturan tersendiri.
Dia menjelaskan karena restrukturisasi dan kepailitan lintas batas terkendala hukum yang berbeda-beda di setiap negara, maka ada prinsip universalitas, yakni semua negara sepakat untuk terikat dalam suatu hukum universal, sehingga tidak terjadi perbedaan pesepsi dan implementasi hukum di semua yuridikasi.
Kemudian, lanjut dia, ada prinsip teritorialitas, yakni suatu hukum hanya akan berlaku terhadap orang dan barang atau harta yang berada di dalam suatu negara atau wilayah.
Sementa Dipendra menyampaikan contoh perkara perdata antara dua perusahaan dari Indonesia dan Malaysia yang diputus peradilan Indonesia.
Peradilan Malaysia dapat mengakui putusan pengadilan negara lain di bawah hukum umum, jika angka dalam putusannya bersifat pasti, final atau inkracht, dan konklusif.
“Setelah persyaratan di atas terpenuhi, pengadilan Malaysia akan membuat keputusan yang mengakui keputusan asing, kecuali kalau ada pembelaan yang berkelanjutan yang diajukan untuk menentang pengakuannya,” kata dia. (jpnn/RS)