JAKARTA – Mahalnya biaya logistik nasional dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura, dan Malaysia, masih sering dibicarakan dikalangan dunia usaha, termasuk pemerintah.
Direktur kepelabuhanan Ditjen Hubla Kementerian Perhubungan Subagiyo juga sempat membahas mengenai hal itu, saat dirinya menjadi salah satu narasumber dalam webinar nasional yang diselenggarakan oleh Persatuan Insinyur Indonesia bersama Kemenhub dan PT Hutama Karya (Persero), Kamis, (13/10).
Subagiyo menyampaikan Indonesia sebagai negara maritim memiliki luas wilayah 5,9 juta km persegi dari luas total sebesar 7,9 juta km persegi.
“Kondisi ini menjadikan Indonesia pada lokasi strategis dalam rute perdagangan dunia, mengingat 90% perdagangan internasional melalui jalur laut, dimana 40% nya melewati wilayah perairan Indonesia,” ujarnya.
Subagiyo yang membawakan materi Manajemen dan Rekayasa Transportasi Berkelanjutan untuk Peningkatan Pelayanan Tol Laut dan Transportasi Antarmoda, juga mengatakan bahwa Indonesia sebagai supply side yang dapat memasok dunia dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki dan hasil industri olahannya, sekaligus menjadi pasar yang besar atau demand side dalam rantai pasok global.
Sekarang, ungkapnya, Indonesia sudah memiliki visi di 2045 yang salah satunya yakni sektor ekonomi menjadi 5 terbesar di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 309 juta jiwa dan sebanyak 52% dari jumlah penduduk yang ada merupakan usia produktif.
“Selama Pandemi Covid-19 sektor transportasi khususnya transportasi laut terkait dengan angkutan logistik baik itu kargo kontainer memiliki ketahanan yang cukup stabil, jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Memang, pada tahun-tahun awal Pandemi mengalami penurunan sedikit khususnya angkutan penumpang,” ucapnya lagi.
Dia menilai, struktur ekonomi Indonesia tentu terus mengalami penambahan dan sektor bisnis di tahun 2045 diperkirakan sebagian besar berada di sektor jasa yakni 73%.
Menurut Subagiyo, dalam mewujudkan visi Indonesia Emas tidak hanya menjadi adil dan makmur dan tidak hanya milik generasi sekarang namun juga generasi selanjutnya.
“Pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup, namun juga diperlukan pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Kita juga memiliki rencana induk sistem logistik nasional yang merupakan backbone perekonomian kita. Karena kalau sistem logistik kita bagus cost logistik nya rendah artinya perekonomian kita akan terus bergerak menjadi lebih baik,” jelasnya.
Kata dia, hal itu sebagai implementasi dari Peraturan Presiden nomor 26 tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Dan merujuk hal itu, pemerintah telah menetapkan 3 (tiga) fase pembangunan sistem logistik nasional, yakni, pertama, menguatkan sistem logistik domestik (2021-2015), dengan target penurunan biaya logistik menjadi 25% dari PDB (Pandapatan Domestik Bruto).
Kedua, mengintegrasikan jaringan logistik dengan Asean (2016-2020), dengan target penurunan biaya logistik menjadi 21% dari PDB pada tahun 2020.
“Akan tetapi, realisasinya tarif logistik masih terlalu mahal dan cost kita di tahun 2021 mencapai 23-24% dari PDB cost logistik kita. Artinya tidak sesuai dengan target yang direncanakan dalam rencana induk Sislognas (Sistem Logistik Nasional),” ujarnya.
Lalu ketiga, yaitu mengintegrasikan jaringan logistik global (2021-2025), dengan target penurunan biaya logistik menjadi 18% dari PDB pada tahun 2024.
Subagiyo juga menyoroti isu daya saing biaya logistik Indonesia yang masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti India, Malaysia, Tiongkok, Thailand, dan Vietnam.
“Selain itu, tantangan global saat ini yaitu Pandemi Covid-19 masih berjalan, selanjutnya lajunya percepatan implementasi teknologi IT. Juga ada perubahan perilaku bisnis yang menuntut adanya suatu inovasi dan kreativitas layanan menjadi lebih murah, lebih cepat dan transparan. Ini menjadi challenge untuk kami sebagai regulator khususnya di bidang transportasi laut,” ungkapnya panjang lebar.
Dia menambahkan, ada hasil studi yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bhawa proses logistik masih sangat panjang dan menimbulkan cost effect yang cukup besar.
Jika dilihat biaya transit logistik atau pergerakan barang itu masih menduduki tingkat yang cukup signifikan yakni sekitar 42% dari total cost logistik yang dihasilkan. Selanjutnya, biaya pabean dan peraturan sebesar 10%, alokasi overhead 10%, biaya pabean dan pelabuhan 10%, manajemen stok 8%, biaya tenaga kerja 7%, biaya keuangan dan biaya distribusi masing-masing 4%, dan biaya lain-lain sebesar 4%.
“Yang ingin kami bahas mengapa biaya transit logistik masih cukup signifikan sebesar 42%, alasannya yakni proses input dan pergerakan logistik rata-rata di Indonesia masih cukup panjang prosesnya. Salah satu yakni cargo data, masih 6 kali dilakukan input dalam satu sistem, harusnya cukup dengan satu kali input dan satu kali keluar. Artinya ini masih ada diperlukan suatu simplifikasi (penyederhanaan) sistem untuk proses pergerakan logistik,” katanya.
Karena itu, ucapnya, konsep pembangunan logistik Indonesia harus berkelanjutan, dan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada beberapa pertemuan tingkat internasional yakni dalam Paris Agreement Conference of The Parties (COP) ke-26 di Glasgow, Skotlandia yang menyepakati, pertama, Indonesia agar mengurangi emisi gas rumah kaca dengan target di tahun 2030 sebesar 29%.
Kedua yakni deforestasi kita saat ini yang paling rendah selama 20 tahun di dunia. Ketiga yaitu tingkat kebakaran hutan Indonesia berkurang sebesar 82%.
Keempat restorasi sebesar 64 ribu hektar lahan magrove, karena mangrove itu menyimpan atas penyerap karbon 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan lahan gambut.
Untuk itu, pembangunan transportasi berkelanjutan berwawasan lingkungan merupakan salah satu instrumen yang menjadi indikator keberhasilan dari pembangunan perekenomian. Dalam hal pelaksanaan Sislognas dapat dilihat dari beberapa indikator, di antaranya, peningkatan efisiensi dan efektivitas sarana dan prasarana.
Selanjutnya, peningkatan fungsi ekonomi Sislognas, juga peningkatan kualitas dari pengelolaan lingkungan, serta peningkatan daya saing dari Sislognas.
“Yang menjadi pembahasan adalah isu strategis transportasi laut tahun 2020-2024, jika bicara mulai dari input terkait sumber daya harus terus meningkat kualitas sumber daya manusia (SDM) dan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Kemudian pendanaan juga menjadi isu strategis yang lain mengenai kebijakan creative financing atau kreatifitas pembiayaan Non-APBN juga harus dikembangkan karena keterbatasan APBN kita semakin mengecil,” ujarnya lagi.
Tak hanya itu, Subagiyo juga menyoal mengenai regulasi terkait standarisasi (SOP) dan sebagainya harus disederhanakan, hal itu untuk meningkatkan kegiatan investasi di negara kita ini, sehingga diharapkan menghasilkan sesuatu output penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang mampu meningkatkan kinerja infrastruktur kita khususnya infrastruktur transportasi.
“Hasilnya adalah outcome yakni suatu kinerja pelayanan yang mendukung pergerakan logistik dan pembangunan perekenomian nasional juga pembangunan yang sustainable dan berkelanjutan serta memperhatikan kelestarian lingkungan. Ini akan menjamin anak-cucu kita sesuai dengan UUD bahwa pembangunan harus menghidupi hajat hidup orang banyak. Jadi kita harus memperhatikan anak-cucu, generasi kita ke depan,” ujarnya.
Dari outcome tersebut tentunya akan ada impact yang memberikan dampak terhadap multi sektoral yakni biaya logistik nasional akan menurun, sistem logistik kita akan memberikan nilai tambah dan dukungan terhadap prioritas pengembangan kawasan-kawasan strategis seperti ekonomi khusus, kawasan industri dan lainnya.
“Sistem kepelabuhan nasional harus bertransformasi menuju dari infrastruktur play menuju ekosistem play, menuju ke fasilitator perdagangan,” terangnya.
Untuk itu, dia mengatakan adanya keberanian mulai merubah konsep-konsep, dari produktivitas terminal yang rendah, kurangnya keahlian operator pelabuhan dan seterusnya untuk bertransformasi dalam terintegrasi dan kolaborasi sistem pada suatu koridor perdagangan yang mana ini harus menjadi kesepakatan bersama semua stakeholder yang berkaitan di sistem pelabuhan nasional.
“Kalau semua kebijakan yang kita targetkan itu bisa dilaksanakan dengan minimize pertama adalah ketidak seimbangan antara supply-demand, lalu kurang optimalnya infrastruktur dan operasional pelabuhan, juga nilai rantai maritim yang kurang efisien, nilai rantai di darat kurang efisien dan kurang kondusifnya regulasi pemerintah dalam mensupport kebijakan ini. Kalau kita bisa mengeliminasi (minimize) maka cost logistik di tahun 2030 bisa kita tekan lebih dari 50%. Jika saat ini hitung-hitungan konsultan sekitar Rp 161 per satuan bisa menjadi Rp 80 per satuan, ini berdasarkan hasil studi konsultan yang sangat kredibel,” ungkapnya.
Subagiyo juga menyampaikan, sebagai regulator, Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan akan terus mengupayakan sejumlah perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan pelayanan dan mendorong pembentukan unit kerja yang memiliki tugas dan fungsi melakukan analisis big data sekaligus membangun dan bertransformasi sistem digital.
Selanjutnya menerapkan Single Data System pada proses Sislognas sebagai penerapan manajemen transportasi multimedia, mulai dari gate in sampai gate out, seperti : sistem pengangkut single submission, single billing, system truck identification data (STID), dan container visualization system (CVS).
“Dengan sistem CVS ini bisa memonitor seluruh kontainer di negeri ini, sehingga beberapa bulan yang lalu seperti kelangkaan kontainer bisa dicegah dan bisa memetakan dimana posisi kontainer ini penumpukan, kekurangan sehingga dapat dilakukan balancing (keseimbangan) untuk pemenuhan alat angkut kontainer ini,” urainya.
Kedepan, pemerintah mewajibkan penanaman mangrove kembali pada setiap kegiatan pembangunan, baik itu pelabuhan dan infrastruktur lainnya disepanjang pantai dengan perhitungan nilai kehilangan jasa ekosistem mangrove yang akan kembalikan melalui rehabilitasi mengrove yang dihasilkan manfaat jasa ekosistem.
“Kita juga melakukan pembentukan unit kerja yang memiliki tugas dan fungsi analisis big data sekaligus membangun dan transformasi sistem digital. Serta pemerintah juga akan terus mengembangkan alternatif pembiayaan alternatif NON-APBN (creative financing) melalui skema kerja sama baik konsesi, kerja sama pemanfaatan aset BMN (barang milik negara), Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) dan seterusnya,” kata Subagiyo. (RS)