KENDARI – Pengamat politik dan kebijakan publik M. Saifullah menilai penyataan CEO Vale Indonesia Tbk Febriany Eddy dan Direktur Keuangan Bernardus Irmanto terkait sedang digarapnya proyek pengembangan PT Vale Indonesia Tbk di Sulawesi dengan total nilai mencapai USD 8,6 miliar atau sekitar Rp 128,2 triliun (kurs Rp 14.906 per USD) hanya lebih mempertegas bila perusahan ini memang hanya bermodalkan izin kontrak karya kemudian ‘menjual’ kewenangannya tersebut untuk mencari investor lain yang ironisnya juga berasal dari luar negeri.
“Mungkin terlalu berlebihan bila saya katakan bahwa sebenarnya posisi PT Vale ini hanya perusahaan broker yang menenteng izin kontrak karya terus menjualnya ke investor asing lain. Tapi dari apa yang dipaparkan petinggi PT. Vale begitulah realitasnya”, ujar peneliti dari Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik (PKPK) ini saat dihubungi, Kamis (15/9/2022).
Diketahui PT Vale Indonesia menggandeng perusahaan asal China yaitu China Baowu Steel Group dan Shandong Xinhai Technology dengan nilai investasi sebesar 2,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp31 triliun, untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan atau smelter nikel di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Kemudian di Sorowako Luwu Timur, Sulsel, PT Vale kembali menggandeng perusahaan asal China Huayou Cobalt Company atau akrab disebut Huayou yang rencananya akan membangun smelter nikel berteknologi tinggi di sana.
Saiful menyebut apa yang dilakukan oleh PT Vale tidak lebih hanya menjual aset sumberdaya kekayaan mineral Indonesia kepada pihak asing.
“Ini sama dengan menjual tanah air kita dengan hanya bermodal kontrak karya lalu berbagi saham”, tandasnya.
Menurut Saiful, sebenarnya yang dipersoalkan dalam karut marut yang ditimbulkan PT Vale ini bukan soal anti asing atau tidak. Namun pada soal keadilan, pemerataan dan hak konstitusional anak bangsa (pribumi) untuk ikut menikmati dan mengelola kekayaan sumberdaya alam-nya.
“Ini bukan soal anti asing. Ini soal konstitusi yang dengan tegas tertulis dalam pasal 33 UUD 45”, tegasnya.
Karena itu, dia menekankan memang ada baiknya PT Vale, Pemprov beserta seluruh elemen masyarakat di tiga provinsi di Sulawesi membuka ruang dialog untuk kebaikan bersama.
Menurut Saiful, selama ini Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik (PKPK) memang telah lama melakukan kajian intensif terkait keberadaan PT Vale Indonesia Tbk yang dinilai masih sangat minim berkontribusi bagi daerah.
“Dari kajian dan identifikasi masalah kami dari PKPK menyimpulkan harus ada perubahan kalau tak ingin memicu rakyat di daerah semakin gerah. Pertama, kami mengusulkan agar perubahan kontrak karya menjadi IUPK nanti bisa dilanjutkan prosesnya dengan beberapa syarat seperti ketentuan penguasaan lahan tidak lebih 25.000 hektar”, bebernya.
Kemudian, lanjut Saiful, syarat dua hingga tiga persen perhitungan perolehan PNBP untuk hak pemerintah provinsi tidak diberlakukan dan kembali pada ketentuan pasar HPM (nikel) yang ditetapkan pemerintah. Kemudian besaran Landrend dalam bahasa umum “sewa tanah” wajib ditinjau kembali.
“Juga harus dilakukan review kembali terkait penggunaan sungai Larona, Sungai Balambano dan Sungai Karebbe sabagai pusat Pembangkit Tenaga Air (PLTA kap. 365 MW) yang dimanfaatkan untuk kebutuhan komersial dengan nilai kemanfaatan ekonomi yang tinggi, tetapi kemanfaatan terhadap masyarakat Lutim sangat minim karena masyarakat tidak gratis listrik tetapi tetap seperti pengguna di kabupaten lain,” ujarnya.
Lajut Saiful, terkait kapasitas 10,7 MW yang katanya untuk masyarakat, faktanya dijual ke PLN. Ini wajib ditransparankan tata kelola jual belinya.
“Danau Matano, Danau Mahalona dan Danau Towuti sebagai Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam perlu dikaji pemanfaatannya yang selama ini hanya memberi dampak ekonomi sepihak, apakah sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan,” ujar Saiful.
“Demikian juga , katanya, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) ex wilayah Kontrak Karya sepatutnya dikembalikan kepada masyarakat untuk dikelola sebagai anak bangsa dan tentunya memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 yang dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung oleh pemerintah dengan melibatkan melibat DPR RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten dengan mekanisme tata kelola bisnis to bisnisnya yang diserahkan kepada BUMD Kabupaten dan BUMD Provinsi sesuai Pasal 33 ayat 1 dan 2 UUD 1945,” kata Saifullah.
Kemudian, kata Saiful, model investasi pembangunan smelter yang marak saat ini adalah pemilik IUP bersepakat dengan Investor untuk membangun smelter dengan sharing saham Investor 51% dan pemilik IUP 49% . Akan tetapi investor juga memiliki saham terhadap IUP agar ada jaminan supply ore nikel.
Dalam hal ini Investor menanggung biaya pembangunan Smelter 100%. Smelter dan IUP menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pemilik IUP tidak mengeluarkan dana satu rupiah pun untuk bangun smelter.
“Kalau hal ini terjadi di PT Vale maka mereka hanya menggadaikan tanah air kita untuk memiliki smelter. Malang betul nasib warga Sulsel kalau hal ini terjadi. Kalau ini betul, hanya satu kata: “Tolak Peroanjangan Kontrak PT. Vale” dan sebaiknya lahan nikel PT Vale diserahkan ke perusahaan daerah kabupaten dan provinsi kemudian perusahaan daerah yang kerjasama dengan investor agar masyarakat Sulawesi yang menikmati, bukan orang asing tanpa modal,” ujarnya.
Semua syarat di atas menjadi sangat penting untuk dipenuhi karena ini menyangkut hak masyarakat daerah yang selama 54 tahun keberadaan PT Vale terus terabaikan.
“Harus ada perubahan untuk semua itu. Karena ke depan masyarakat yang merasa terabaikan di Sulawesi akan semakin sadar dan paham akan apa yang terjadi dan itu bisa memicu konflik sosial di daerah yang tidak kita harapkan bersama,” pungkasnya.(RS)