KENDARI – Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang telah ditetapkan pemerintah sejak tgl 3 September 2022 lalu, kini memicu kenaikan harga di berbagai sektor mulai dari transportasi, pangan, dan lain sebagainya. Di sisi lain naiknya BBM tidak diimbangi dengan gaji karyawan, sehingga ini akan memberatkan masyarakat.
Salah seorang Pakar Ekonomi Sulawesi Tenggara, Prof. Dr. H. Arifuddin Mas’ud, S.E., M.Si, Ak.CA. ACPA mengungkapkan, adanya kenaikan bahan bakar ini maka akan menjadi pemicu terjadinya inflasi. Jika hal ini terjadi maka akan memberikan dampak besar kepada warga Indonesia, di mana daya beli masyarakat merosot.
Lanjutnya, jadi untuk menimbangi hal tersebut maka sudah saatnya perbaikan kesejahteraan rakyat atau karyawan terutama pada para pekerja sektor nonformal, karena ketika bahan bakar minyak naik maka biaya produksi pasti akan naik juga.
“Jadi para pekerja sektor informal ini, saya kira akan sangat merasakan dampak yang sangat besar buntut dari kenaikan BBM ini. Oleh karena itu, pemerintah perlu mencari pola agar pendapatan para masyarakat Indonesia bisa mengimbangi kenaikan harga BBM,” ujarnya, Rabu (7/8).
Ia juga mengatakan, salah satu yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mengembang kenaikan harga BBM ini yakni dengan memperluas lapangan kerja. Sehingga ada alternatif bagi masyarakat guna membuat peluang kerja yang baru agar mengimbangi kebutuhan BMM, sehingga daya beli masyarakat menjadi naik.
Sambungnya, lapangan kerja yang bisa dibuka oleh pemerintah salah satunya yang berpusat pada karya dengan banyak tenaga kerjanya itu di bidang sektor informal. Sehingga mereka bisa diberdayakan seperti kegiatan-kegiatan mendasar yang bisa melibatkan masyarakat.
“Sehingga ketika mereka memperoleh pendapatan disitu maka daya beli akan menjadi naik. Secara idealnya kenaikan BBM harus diimbangi dengan kenaikan upah pekerja. Jika memang tidak mampu pemerintah mereka harus membuat sektor lapangan kerja baru bagi masyarakat terutama yang bersifat pada karya,” terangnya.(RS)