
Oleh: Dian Novita Susanto M. Sos
Pemikiran singkat, saat kami Perempuan Tani HKTI diberikan kesempatan untuk memberikan paparan dan masukan kepada Kementerian Luar Negeri Direktorat Jenderal Kerja sama Multilateral Republik Indonesia dan PT. Pupuk Indonesia (Makmur Agrosolution)Ditemukan beberapa permasalahan Gender Gap di sektor pertanian Indonesia yang begitu kompleks. Mulai dari, hanya sekitar 10% pendidikan yang layak dapat di akses oleh penduduk Indonesia, apalagi petani perempuan, masih jauh di bawah rata-rata. Berikutnya adalah banyak yang masih menormalisasi Gender Gap.
Seperti ketika perempuan bekerja di sektor formal, hanya di anggap sebagai pekerjaan sambilan, karena mindset kita yang cenderung melihat pekerjaan utama dari perempuan adalah urusan domestik. Lalu, terjadinya ketimpangan struktural yang menyebabkan petani perempuan tidak memiliki akses yang setara dengan laki-laki.
Padahal jika kita mengarusutamakan otonomi perempuan, dipercaya perempuan memiliki daya positioning yang lebih tinggi.
Contohnya saja seperti hak waris dan hak yg sama terhadap kepemilikan. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah aset terhadap kepemilikan tanah yang masih jauh dari ketimpangan, sehingga banyak petani kita adalah berprofesi sebagai petani pekerja, bukan petani kapital atau petani majikan. Sehingga tidak dapat mengakses terhadap pemodalan dan pemanfaatan sarana dan prasarana. Umumnya lembaga finansial melihat posisi petani perempuan bukan sebagai pengambil keputusan, namun berada pada kelas dua. Padahal dilansir dari laporan McKinsey (2015), upaya meningkatkan kesetaraan perempuan berpotensi meningkatkan GDP Global sebesar $12 Triliun pada tahun 2025. Lalu, menurut FAO, jika petani perempuan dilibatkan dalam proses produksi pertanian dan diberikan akses yang sama, maka dipercaya akan meningkatkan produktivitas pangan sekitar 20 – 30%.Untuk itu pentingnya memformulasikan suatu pandangan dan kebijakan pertanian yang lebih berdimensi gender, antara lain:
Pertama, melalui Kebijakan yang meligitimasi peranan perempuan dalam berbagai aspek (mempertipis ketimpangan struktural). Karena awal pembudidayaan akan pangan, letaknya ada di tangan perempuan. Tanpa keterlibatan perempuan di dunia pertanian, ibarat seperti sawah tanpa pengairan.
Kedua, Pemberdayaan Perempuan Petani, melalui proses transformasi yang lebih aplikatif, seperti penggunaan teknologi ramah perempuan, dan yang terakhir yang tidak kalah penting melalui Peningkatan Kapasitas dan Keterampilan, melalui peningkatan SDM melaui pendidikan, pengembangan sikap mental petani perempuan dalam mengembangkan jiwa kewirausahaan dan sikap disiplin yang tinggi melalui memotivasi kepada para petani untuk terus belajar dan berkembang, untuk berani mengambil peluang yang ada.
Terakhir, Saya sangat setuju dengan yang disampaikan oleh Vandana Shiva, “Siapa yg memberi makan dunia? Jawabanku sangat berbeda dengan apa yg biasa diberikan oleh sebagian orang.
Jawabanku: Para perempuan dan petani kecilah – yang berlandaskan pada keanekaragaman hayati – yang merupakan penyedia pangan di negeri-negeri dunia ketiga”.
Apa yang disampaikan Vandana ini menjadi sangat relevan dengan tugas dan keterlibatan petani perempuan dalam bidang pertanian. Keterlibatan mereka mulai dari pembukaan lahan, produksi, hingga pasca panen.
Pun sampai menjamin kecukupan gizi keluarga itu semua adalah peran dari petani perempuan. Jadi sejatinya Perempuan petani adalah ibu kedaulatan pangan karena perannya cukup besar, mulai dari mengelola lahan pertanian sampai kepada tanggung jawab untuk ketersediaan pangan keluarga. (*)
*)Ketua Umum DPN Perempuan Tani HKTI