Mengacu pada HMA 35.995,30 dolar AS per dmt, maka Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel untuk kadar 1,70% dengan Corektif Factor (CF) 18%, dan Mousture Content (MC) 30%, maka HPM Nikel 77,10 dolar AS per ton.
Kemudian, untuk nikel kadar 1,80% dengan CF 19% dan MC 30%, HPM Nikel 86,17 dolar AS per ton. Nikel kadar 1,9% dengan CF 20% dan MC 30%, maka HPM Nikel 96,75 dolar AS per ton. Nikel kadar 2,00% dengan CF 21% dan MC 30%, HPM Nikel sebesar 105,85 dolar AS per ton.
Menanggapi naiknya HPM Nikel April ini, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan membawa gairah bagi pelaku pertambangan nikel di sektor hulu.
“Kami dari pelaku pengusaha hulu pertambangan dari APNI saat ini dalam posisi sangat menguntungkan. Jika kita berbicara HPM mineral, kami tetap mengikuti Permen ESDM No 11 Tahun 2020. Kami juga mengikuti Acuan Kepmen ESDM No 2946 K/30/MEM/ 2017 untuk peritungan HPM,” kata Meidy Katrin Lengkey, pada Kamis (7/4/2022) sore.
Menurutnya HPM mineral dihitung pemerintah berdasarkan harga internasional yang dihitung dari tiga bulan ke belakang (Februari-Maret-April). Untuk HMA mineral logam bulan Maret sebesar 23.537,05 dolar AS per dmt.
Meidy mengapresiasi kebijakan pemerintah yang komitmen dalam menentukan perhitungan HMA komoditas minerba. Lain hal, jika ke depan ada perubahan peraturan terkait penentuan perhitungan HMA minerba.
Pelaku hulu, kata Meidy, memahami kondisi yang tengah dihadapi perusahaan smelter karena bertambahnya biaya produksi, seiring naiknya harga-harga bahan baku untuk menggerakkan roda produksi smelter. Maka, ada wacana dari smelter agar tidak mengikuti HPM minerba di April, namun mengikuti HPM Maret 2022.
Demi menjaga kelangsungan dunia usaha hulu dan hilir, kata Meidy, pihaknya menolerir usulan dari pihak Smelter, di mana transaksi jual-beli nikel berdasarkan HPM Maret 2022.
“Selama penyesuaian dari kami disesuaikan juga dengan kewajiban kita ke negara. Memang ini masih tahap diskusi bersama, bagaimana dapat pengambilan yang pas antara pelaku industri hilir dan hulu, sehingga tidak ada yang dirugikan,” tutur Meidy.
Meidy menambahkan, pemberlakuan Permen No.11 Tahun 2020 memang sempat dikeluhkan anggota APNI. Namun, mau tidak mau, pelaku hulu harus mentaati peraturan yang sudah dibuat pemerintah. Sebaliknya, jika tidak mengikuti peraturan, maka akan ada sanksi. Harus diingat juga bahwa transaksi ini berdasarkan acuan untuk pembayaran kewajiban PNBP (Royalti dan PPH) ke negara, dan juga karena dipantau oleh KPK dan BPK.
Hanya berulang kali APNI menyampaikan aduan kepada Direktorat Jenderal Minerba, Kementerian ESDM terkait pelaksanaan kontrak-kontrak penjualan bijih nikel. Di mana berdasarkan Permen No.11 Tahun 2020 menyebutkan transaksi jual-beli nikel itu menggunakan sistem FOB. Kenyataannya, pihak smelter menerapkan sistem CIF.
“Artinya, kami harus menanggung subsidi biaya pengiriman tongkang yang rata-rata sampai USD 6-8/wmt,” jelasnya.
Kemudian, lanjutnya, mengenai perbedaan analisa kadar bijih nikel dari pelabuhan muat maupun pelabuhan bongkar. Yang selalu saja terjadi perbedaan. Walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadian tersebut, tapi masih ada saja kejadian-kejadian seperti ini di lapangan.
Karena itu, APNI meminta ketegasan pemerintah untuk menerapkan ketentuan yang sudah diatur dalam Permen Nomor 11 Tahun 2020.
“Artinya, kami mengikuti aturan, maka pihak pembeli juga harus mengikuti aturan. Jadi, jangan sampai ada perbedaan,” tukasnya. (Syarif/Fia)