Luhut
Rakyatsultra , — Politikus Partai Gerindra DPR RI, Fadli Zon kembali mempertanyakan Big Data berisi percakapan 110 juta orang terkait penundaan pemilu 2024.
Apalagi, Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan , Jodi Mahardi, menyatakan tak bisa membuka soal klaim Big Data tersebut.
Jodi menyebut bahwa itu data internal mereka, dan tidak dapat dipublikasikan.
Menanggapi pernyataan itu, Fadli Zon mempertanyakan alasan kenapa data tersebut tidak dapat di publikasi.
“Kenapa data Big Datanya tak bisa dibuka ke publik?” ucap Fadli dilansir fajar.co.id dari twitte pribadinya, Selasa (15/3/2022).
Anggota DPR RI itu meminta Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk bertanggungjawab atas klaim tersebut.
“Harus ada pertanggungjawaban kepada masyarakat atas klaim 110 juta itu.”
“Jangan halalkan segala cara untuk melawan konstitusi,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan berbicara mengenai wacana perpanjangan jabatan Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Presiden RI.
Menurut Luhut, saat ini adanya perpanjangan jabatan Presiden Jokowi ini adalah bagian dari demokrasi. Namun semuanya nanti diserahkan kepada rakyat Indonesia DPR dan MPR untuk menentukannya. Pasalnya MPR yang punya kewenangan untuk mengubah konstitsi perpanjangan jabatan kepala negara.
“Soal mungkin atau tidak, itu DPR dan MPR yang menentukan. Tapi, bahwa ada wacana-wacana macam-macam di publik itu bagian dari demokrasi,” ujar Luhut dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Deddy Corbuzier, dikutip Jumat (11/3)
Jadi ada yang bilang hastag turunkan Jokowi, ya so what, terus ada yang bilang Jokowi perpanjang ya udah, tapi kalau suara membesar ya silakan mau ditanggapi atau tidak, kan tergantung dari perwakilan rakyat juga,” tambahnya.
Luhut juga mengaku dirinya memiliki data dari rakyat Indonesia yang menginginkan agar Pemilu 2024 ditunda pelaksanaanya. Sehingga wacana penundaan Pemilu ini berdasarkan suara dari rakyat Indonesia.
“Kita kan punya Big Data , dari Big Data itu 110 juta itu macam-macam, dari Facebook dan segala macam, karena orang main Twitter kira-kira 110 juta,” katanya.
Luhut menuturkan, dari Big Data tersebut masyarakat kelas menengah ke bawah menginginkan tidak ingin adanya kegaduhan politik di Indonesia akibat Pemilu 2024. Bahkan masyarakat takut adanya pembelahan, seperti di Pilpres 2019 lalu yang muncul ‘kecebong’ dan ‘kampret’.
“Kalau di bawah menengah bawah ini itu pokoknya pengen tenang, bicaranya ekonomi, tidak mau lagi seperti kemarin, karena tidak mau lagi kita sakit gigi dengar ‘kampret’, ‘kecebong’, ‘kadrun’ lah itu kan menimbulkan tidak bagus. Masa terus-terusan begitu,” ungkapnya.
Bahkan Luhut mengungkapkan dari Big Data tersebut masyarakat juga tidak ingin Indonesia dalam keadaan susah akibat pandemi Covid-19, namun malah menghaburkan uang demi penyelenggaran Pemilu 2024. Pasalnya menurut Luhut, Pemilu dan Pilkada serentak 2024 bisa menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 110 triliun.
“Sekarang lagi gini-gini sekarang kita coba tangkap dari publik, itu bilang kita mau habisin Rp 110 triliun lebih untuk memilih ini keadaan begini, ngapain sih. Rp 110 triliun untuk Pilpres dengan Pilkada, kan serentak. Nah itu yang rakyat ngomong,” tegasnya.
Karena itu, Luhut megatakan seharusnya partai-partai politik bisa menangkap aspirasi dari masyakat mengenai keengganan Pemilu 2024 itu diselenggarakan. “Nah ini ceruk orang-orang ini ada di Partai Demokrat, ada yang di Partai Gerindra, ada yang di PDIP ada yang di PKB, Golkar, kan di mana-mana ceruk ini. Ya nanti kita lihat mana yang mau dengar suara kami. Itu kan bisa melihat yang paling menguntungkan untuk suara kami,” tuturnya.